Selasa, 31 Maret 2009

Pemilih Golput


oleh Dr. Dharsono, MSn-Abiyasa Father)


Sejumlah pemilih yang tidak akan menggunakan hak suaranya atau dikenal dengan istilah golongan putih (golput) untuk Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 akan tetap tinggi (Antara News 2008). Berberapa prediksi dari berbagai informasi publik dan diprediksikan angka golput akan melampau angka 40% dengan berbagai berbagai alasan penyebab tingginya angka golput. Kaum muda sering dicap dan sering diidentikkan dengan golput. Anggapan sementara boleh saja dianggap wajar, mengingat memang kaum muda yang lebih sering menyuarakan sikap skeptis terhadap pemilu. bahkan apatis mereka bergulir ketika tolok ukur efektifitas pemilu merupakan instrumen demokrasi Para politisi sendiri, kerap melihat kaum muda sebagai sumbernya swing voters, potensi suara yang dianggap longgar terhadap kesetiaan idiologi politiknya.

Yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan eskalasi fenomena kekerasan di kalangan kaum muda lebih mencolok. Luapan emosional kaum pemuda sebagai ketidakercayaan atas proses dan mekanisme politik yang ada, dan ketika kaum muda merasa tidak menemukan saluran yang ideal untuk berbagai persoalan yang dirasakan di sekelilingnya.

Sayangnya kepentingan-kepentingan politik, lebih sering dikelola sebagai hidden agenda yang diselesaikan secara di bawah tangan. Pemilu sebagai sebuah peristiwa transaksi kepentingan politik belum bisa dielaborasi secara maksimal. Sering kali pemilu hanya menjadi ajang transaksi kepentingan dukungan suara bagi aktor politik di satu sisi, itu yang menyedihkan karena suara mereka bukan lagi suara hati nurani, melainkan hanya selembar uang kertas.

Sayangnya, partai politik yang memiliki kewajiban untuk melakukan pendidikan pemilih sebagaimana diatur dalam UU No 2 tentang partai politik, belum mampu menjalankan kewajiban tersebut dengan sepenuh hati. Partai politik cenderung hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek kampanye untuk mendulang suara tanpa memberikan pendidikan politik yang memadai kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat hanya memahami pemilu sebagai ajang pemilihan anggota legislatif atau eksekutif. Tanpa memahami hakikat pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang akan menentukan kemana bangsa ini akan menuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASSALAMU ALAIKUM