Sabtu, 17 April 2010

Suara Islam: TARIF LISTRIK NAIK, PRESIDEN DIJATUHKAN

Sumber : Anjar
Email Address: marketingsi08@gmail.com
Subjek: TARIF LISTRIK NAIK, PRESIDEN DIJATUHKAN
Isi Berita: Oleh: Amran Nasution


Sudah lama, sebetulnya, harga barang kebutuhan pokok seperti beras dan gula merangkak naik. Tapi rakyat tampak pasrah tak protes. Tak aneh kalau pemerintahan Presiden SBY bertambah berani saja. Maka tarif listrik akan dinaikkan mulai Juli mendatang.

Kenaikan itu akan menyebabkan harga sejumlah komoditi produk industri melonjak dan mencekik leher rakyat kecil. Rakyat pun tambah melarat. Dan ini bukan urusan sederhana. Karena kenaikan harga gas dan listriklah rakyat Kyrgyzstan berontak menjatuhkan Presiden Kurmanbek Bakiyev, awal bulan ini.

Demonstrasi di sejumlah kota – terutama di ibu kota Bishkek – yang coba dipadamkan aparat keamanan, menyebabkan 75 nyawa melayang, 400-an orang luka-luka. Akhirnya, Presiden terpaksa melarikan diri, bersembunyi di daerah selatan.

Tulisan ini tak bermaksud menyamakan Indonesia, negeri besar berpenduduk 230 juta dengan Kyrgyzstan, negeri kecil di Asia Tengah yang penduduknya cuma 5 juta lebih sedikit. Problem Indonesia tak sama dengan problem Kyrgyzstan. Kalau harga listrik menyebabkan Presiden Kyrgyzstan dijatuhkan belum tentu rakyat akan menjatuhkan Presiden SBY karena ia menaikkan tarif listrik.

Tapi tetap ada sejumlah persamaan kedua negara. Indonesia dan Kyrgyzstan sama berpenduduk mayoritas muslim. Keduanya mentrafkan sistem demokrasi liberal dengan pemilihan langsung. Dulunya kedua negara diperintah dengan sistem otoritarian. Yaitu ketika Indonesia di zaman Rezim Orde Baru dan Kyrgyzstan masih merupakan bagian dari Uni Soviet.

Persamaan lainnya, keduanya sama negeri miskin dengan tingkat korupsi yang merajalela. Malah menurut survei PERC dari Hongkong yang diumumkan bulan lalu, Indonesia adalah negara paling korup di Asia. Korupsi di Indonesia lebih parah dibanding Kamboja atau Vietnam. Ternyata selama lebih 5 tahun dipimpin Presiden SBY, korupsi di Indonesia bertambah parah.

Menyaksikan skandal pajak yang baru saja terbongkar memang pantaslah Indonesia dipilih sebagai negara paling korup. Bagaimana Gayus Tambunan seorang pegawai rendah di Ditjen Pajak memiliki sejumlah rumah dan mobil mewah serta deposito di bank Rp 28 milyar.

Atau Bahasyim Assifie yang lebih senior. Bekas Kepala Pemeriksaan dan Penyidikan Kantor Pajak Jakarta VII itu diketahui memiliki 16 rumah, dua di antaranya terletak di kawasan mahal Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu dia punya tanah seluas 50 hektar di Tapos, Bogor, serta deposito Rp 70 milyar. Bayangkan saja berapa banyak aset dan deposito yang dimiliki para pejabat Pajak – atau Bea Cukai, instansi basah lainnya di Departemen Keuangan – yang punya posisi di atas Gayus atau Bahasyim.

Sudah lama kabar beredar bahwa para pejabat basah di Departemen Keuangan itu memiliki banyak aset di luar negeri, mulai Singapore, Australia, Selandia Baru, atau Inggris sampai Amerika Serikat. Setelah terbongkarnya kasus Gayus dan Bahasyim, wajar kalau orang mulai meragukan integritas Menteri Keuangan Sri Mulyani yang selama ini dihembus-hembuskan oleh sementara media sebagai seorang yang bersih. Wajar kalau sekarang muncul tuntutan agar harta kekayaan Sri Mulyani diteliti ulang. Soalnya, bagaimana mungkin gerombolan tikus dipimpin seekor kelinci? Biasanya tikus-tikus dipimpin oleh seekor tikus besar.

Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan harus dimintai tanggung jawab atas gagalnya proyek remunerasi di Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Proyek itu ia lakukan dengan menaikkan gaji tanpa disertai sistem pengawasan yang diperketat. Dan itu terbukti gagal menghadapi korupsi kecuali hanya memboroskan uang negara, selain menimbulkan iri hati dari para pegawai negeri lainnya. Padahal selama ini reformasi di Departemen Keuangan itu dibangga-banggakan kemana-mana oleh Sri Mulyani.

Kembali cerita tadi, Presiden Bakiyev sebetulnya sama dengan Presiden SBY. Keduanya naik ke tangga kekuasaan dengan pencitraan sebagai seorang reformis. Bakiyev menjadi presiden melalui kudeta tak berdarah di tahun 2005, menggantikan Akayev yang memerintah negeri itu setelah era Uni Soviet berakhir. Selaku pemimpin sebuah gerakan – yang dijuluki Revolusi Tulip – Bakiyev waktu itu menjanjikan suatu pemerintahan yang lebih demokratis dan kehidupan rakyat yang lebih baik, serta bersih dari korupsi.

Setelah berkuasa ternyata ia memerintah bersama saudara dan anak-anak serta kroni dan konco-konconya. Sama seperti di Indonesia sekarang korupsi pun merebak. Bagaimana dengan demokrasi? Kalau Presiden SBY berhasil mengumpulkan 60-an % suara, mengalahkan saingannya satu putaran dalam Pemilu 2009, Presiden Bakiyev malah lebih hebat. Dalam Pemilu Juli 2009, ia menang besar (landslide victory) dengan perolehan suara lebih 80%.

Tapi itulah, kalau kemenangan SBY dicemari oleh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang penuh masalah, penyelenggara Pemilu (KPU) yang berpihak, itulah juga yang terjadi pada kemenangan Bakiyev. Para pengamat asing mencatat banyak ditemukan surat suara yang sudah diisi, di sejumlah tempat terjadi intimidasi terhadap pemilih, serta media pemerintah – terutama televisi – berpihak kepada sang incumbent.

NEGERI MISKIN DAN DEMOKRASI

Jadi bila diamati, negeri-negeri miskin yang melaksanakan sistem demokrasi liberal sebenarnya mengalami nasib hampir sama: Pemilu-nya berlangsung tak jujur dan korupsi merajalela. Itulah yang terjadi di Indonesia, Filipina, Kyrgyzstan, dan juga Thailand yang sekarang sedang terguncang oleh huru-hara politik dengan korban yang cukup besar.
Korupsi terjadi secara sistemik karena dibutuhkan dana besar dalam sistem rekrutmen politik. Pemilihan bupati/walikota, gubernur, sampai presiden menghabiskan dana tak sedikit. Dari mana dana diperoleh? Jawabannya: korupsi.

Di negeri kaya, dana diperoleh dari sumbangan para pendukung yang sudah mentradisi. Ketika mencalonkan diri, Presiden Obama mengumpulkan dana sekitar Rp 4 triliun dari para simpatisan dan pendukungnya.
Di negeri-negeri miskin seperti Indonesia atau Kyrgyzstan tentu sulit mengumpulkan dana kampanye seperti itu. Dana diperoleh dari pengusaha – terutama konglomerat hitam – yang menyumbang dengan imbalan fasilitas. Tak heran korupsi meraja-lela. Dan itu terjadi dari tingkat atas sampai bawah, karenanya disebut korupsi berjamaah. Oleh karena mulai dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden membutuhkan dana kampanye yang besar maka korupsi pun subur dari level terbawah sampai tertinggi.

Di dalam bukunya The Third Wave, Democratization in The Late Twentieth Century (University of Oklahoma Press, 1993), Profesor Samuel P.Huntington dari Harvard University telah menjelaskan tentang demokrasi di negeri-negeri miskin dengan ukuran pendapatan perkapita tertentu.

Di negeri itu – seperti Indonesia atau Kyrgyzstan sekarang ini – sistem demokrasi akan mengakibatkan pengambilan keputusan tak efisien dan lambat. Ujung-ujungnya terjadi kemunduran dalam perekonomian, dan akhirnya rezim demokrasi akan digantikan kembali oleh sistem otoritarian. Gejala yang disebutkan guru besar ilmu politik itu sekarang terjadi di Kyrgyzstan.

Tumbangnya rezim Bakiyev tampaknya akan digantikan oleh pemerintahan yang lebih dekat ke Moskwa, yang dipimpin bekas Menteri Luar Negeri Roza Otunbayeva. Ini sangat merugikan Amerika Serikat karena sekitar 30 km di luar ibu kota Bishkek, terdapat pangkalan udara Manas yang merupakan pintu masuk pasukan Amerika Serikat dalam berperang di Afghanistan.

Semua pengiriman dan penarikan pasukan ke dan dari Afghanistan dilakukan melalui Manas. Begitu pula berbagai pengiriman logistik tempur. Bila benar nanti rezim baru lebih dekat ke Rusia, Amerika Serikat akan kerepotan harus mencari pangkalan baru. Sejak Bakiyev kabur dari ibukota, untuk sementara Pangkalan Manas diistirahatkan.

Maka Sabtu, 10 April lalu, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menelepon pimpinan sementara Kyrgyzstan Roza Otunbayeva. Kedua wanita politikus itu berbicara basa-basi. Soalnya sebelumnya Roza telah dua kali berbicara telepon dengan Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin. Malah sebelum kerusuhan anti-pemerintah meletus, Roza telah dua kali berkunjung ke Moskwa.

Apakah huru-hara seperti di Kyrgyzstan (atau Thailand) akan terjadi di Indonesia? Tak begitu gampang menjawabnya. Yang jelas terbongkarnya berbagai korupsi di Departemen Keuangan, Kepolisian, dan Kejaksaan, yang merupakan institusi terpenting pemerintahan Presiden SBY, cukup meruntuhkan wibawa pemerintah.

Janji kampanye Presiden SBY akan memberantas korupsi ternyata cuma yargon kosong. Korupsi besar-besaran di Departemen Keuangan itu tak akan terbongkar kalau tak terjadi perseteruan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dengan Komisaris Jenderal Susno Duadji, bekas Kabag Reskrim Polri.
Presiden SBY memang terlihat mencoba mencuri adegan. Tapi semua orang tahu dari media massa yang begitu terbuka bahwa Susno-lah yang membongkar semuanya. Coba lihat saja nanti bulan Juli kalau tarif listrik jadi dinaikkan.
--
Visitor Ip: 202.70.51.254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASSALAMU ALAIKUM