
1. Memilih dalam pemilu tapi BUKAN calon yang memenuhi kriteria Islam tersebut.
2. Tidak memilih pada pemilu (Golput) padahal ADA calon yang memiliki kriteria Islam tersebut.
JADI AMAT BEDA ESSENSINYA DENGAN YANG DITULIS DI MEDIA UMUMNYA.Wass."
Memang terjadi kesimpangasiuran dalam menanggapi fatwa MUI hasil ijtima Ulama di Padang Panjang ini. Umumnya publik punya persepsi bahwa MUI mengharamkan golput secara mutlak, padahal kecendrungan umum adalah golput karena merasa jenuh terhadap sistem demokrasi yang ada yang tak bisa mereka harapkan.Kaum Muslim, khususnya yang selalu terpinggirkan dari zaman demokrasi orde lama sampai demokrasi orde reformasi ini, kini menginginkan diterapkannya syariah, namun sistem demokrasi ini dirasa tak memberi harapan. Apalagi perkembangan terakhir dimana hasil pemilu 2004 yang nilai demokratisnya cumlaude ternyata dirasakan sebagai permainan politik kaum neolib yang berujung pada pengkhianatan-pengkhianatan terhadap semua amanat penderitaan rakyat.Adanya salah persepsi dan kesimpangsiuran mungkin terjadi lantaran ada ketidakjelasan, ketidaktegasan, atau miscomunication. Misalnya, apa yang diuraikan sohib sekjen FUI di atas masih belum menjawab pertanyaan:Bagaimana dengan pemilih yang tidak memilih karena memang tidak ada yang memenuhi syarat tersebut? Selain itu, fatwa itu kurang jelas ditujukan untuk siapa dan dalam kerangka apa? Yakni apakah larangan golput untuk pemilu legislatif,pilkada, ataukah pilpres,ataukah kesemuanya? Sehingga dari situ masalahnya bisa diurai lebih jelas dan solusi hukumnya diberikan secara jelas lengkap dengan dalilnya. itupun diperparah oleh munculnya kriteria pemimpin dengan menggunakan istilah-istilah seperti fathonah,siddiq,tabligh dan amanah yang selama ini dipahami masyarakat sebagai sifat wajib seorang Rasul. Sedangkan Rasul tidak dipilih dalam pemilu tapi merupakan ketentuan Allah SWT.
Oleh karena itu, bilamana fatwa itu difokuskan untuk memilih pemimpin (Pilpres/Pilkada) sebaiknya MUI menggunakan kriteria pemimpin yang wajib dipilih dan ini bisa diadopsi dari syarat-syarat seorang pemimpin, imam a'zham, khalifah atau amirul mukminin yang ada dalam khazanah fiqh Islam.Sebut saja misalnya syarat pengangkatan seorang pemimpin (syuruuthul imam) menurut Imam Syafi'i Rahimahullah dalam kitab Al Jinayat al Mujibat lil Uqubat
(1) mukallaf,
(2) muslim,
(3) merdeka,
(4) mujtahid,
5) pemberani, (6)mendengar,melihat,dan bicara,dan
(7) keturunan Quraisy.
Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam As Sulthaniyyah mengatakan bahwa syarat pemimpin adalah:
(1) Adil dengan syarat-syaratnya,
(2) Berilmu hingga bisa berijtihad,
(3) Selamat panca Inderanya,
(4) Selamat anggota badan dari segala hal yang menghalangi gerak yang cepat,
(5) sehat pikiran dan pendapat sehingga bisa mengurus rakyat dan mengatur kemaslahatan mereka,
(6) Pemberani sehingga bisa melindungi rakyat dan berjihad melawan musuh,
(7) Nasabnya sebagai keturunan Quraisy.
Sedang Imam Nawawi dalam kitab Ar Raudlah menyebut syarat pemimpin adalah :
(1) muslim;
(2)mukallaf;
(3)adil;
(4)merdeka;
(5)laki-laki;
(6)Quraisy;
(7)mujtahid;
(8)pemberani;
(9)memiliki kemampuan dan pendapat;
(10)mendengar dan melihat;
(11)berbicara dan;
(12)selamat dari berbagai kekurangan yang menghalangi dirinya bisa cepat bergerak.
Dari bahan-bahan tersebut MUI bisa menerapkan kriteria calon pemimpin (Kepala Negara atau Kepala Daerah) yang tugasnya sebagai eksekutif memang harus melakukan pemeliharaan urusan umat (ri'aayatu syu-unil ummah) dengan syariah dengan menggunakan syarat-syarat di atas, baik yang sifatnya harus ada (syurut in'iqad) maupun syarat keutamaan (syurut afdloliyah). Tugas-tugas seorang pemimpin (Imam atau Kepala Negara) menurut syariah juga harusnya diurai dalam fatwa MUI sehingga jelas mereka dipilih dalam kerangka apa. Syarat-syarat Imam di atas tentu berbeda dengan syarat-syarat wakil rakyat (nuqaba), dimana fungsi wakil rakyat bukanlah fungsi penguasa, melainkan mengontrol pemerintah agar tetap memelihara urusan rakyat sesuai dengan petunjuk Allah SWT yang ada dalam Al Qur'an dan As Sunah. Oleh karena itu, kriteria wakil rakyat dengan kriteria pemimpin/penguasa tidak bisa disamakan. Dalam pemilihan legislatif, MUI tentunya diharapkan menerangkan status hukumnya menurut syariat Islam sehingga jelas bagi umat ini dan bisa diamalkan. Sebab tujuan dari sebuah fatwa adalah pemberian informasi hukum (ikhbaarul hukm) dan itu diperlukan oleh umat Islam mengingat umat Islam terikat oleh hukum syara' dalam seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara.
Dalam hal ini MUI tidak perlu sungkan atau ragu berbenturan dengan pandangan Pemerintah atau kelompok poltik manapun, khususnya kaum sekuler yang selalu berusaha mendelegitimasi MUI. Justru yang harus dijaga adalah jangan sampai MUI terdelegitimasi dirinya sendiri lantaran ada fatwa pesanan yang menyimpang dari hukum syara'. Wal'iyaadzu billah! Dalam perspektif syariah aktivitas memilih wakil rakyat di DPR (pemilu legislatif) bisa dikategorikan kepada aqad wakalah. Dalam wakalah ini perlu diperhatikan amal apa yang akan dilakukan oleh wakil rakyat yang mewakili rakyat yang memilihnya? Sebab wakalah yang hukum asalnya mubah atau halal, misalnya seseorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil gajinya;bisa berubah menjadi haram manakala amal yang diwakalahkan adalah haram, seperti seseorang mewakilkan suatu amal pencurian kepada orang lain.
Dalam masalah pemilihan wakil rakyat di kursi parlemen, amal yang diwakalahkan adalah amal membuat undang-undang(taqnin) dan melakukan pengawasan kepada penguasa (muhasabah). Dalam pandangan Islam, membuat undang-undang (taqnin) yang diberlakukan kepada rakyat dalam proses pemerintahan hanya bisa dibenarkan bilamna hukum yang diundangkan itu adalah semata-mata hukum syariat Islam yang bersumber dari Al Qur'an dan As Sunah. Penbuatan UU dangan rujukan selain dari hukum syara'adalah haram hukumnya. Sebab tindakan itu bisa terkategorikan melanggar hak Allah SWT dalam membuat hukum(lihat QS. Al An'am [06]:57 dan QS. An Nahl [16]:116).
Sehingga dalam hal pembuatan perundangan, baik wakil rakyat maupun pemerintah, dibatasi hanya wajib mengadopsi dari hukum syara' maupun hasil-hasil ijtihad yang digali (istinbath) dari dalil-dalil syar'i. Menbuat perundangan dengan merujuk kepada sistem hukum dan perundangan selain Islam (baik dari sistem Kapitalis Barat maupun sistem Sosialis Komunis) bagi kaum muslimin haram hukumnya. Sedangkan amal mengawasi pemerintah (muhasabatul hukkam)dangan standar hukum syara' adalah hak sekaligus merupakan kewajiban rakyat yang bisa dilaksanakan langsung atau melalui wakil rakyat. Dengan demikian halal bagi rakyat muslim memilih wakil rakyat yang akan melaksanakan amal mengadopsi hukum-hukum syara' sebagai UU dan mengawasi kebijakan pemerintah dengan pedoman standar syariah Islam. Sebaliknya, memilih wakil rakyat yang akan mengadopsi hukum-hukum selain Islam sebagai UU dan mengawasi kebijakan pemerintah tidak dengan timbangan syara', apalagi secara nyata menolak penerapan syariah oleh negara dan bertekad melestarikan sistem negara dan pemerintahan sekuler, maka memilih wakil rakyat seperti ini jelas hukumnya haram bagi setiap muslim.
Dengan kejelasan halal-haramnya hukum memilih wakil rakyat dalam pemilu memudahkan umat menilai calon-calon wakil rakyat. Ke depan umat ini masih menunggu fatwa MUI tenang sistem pemerintahan: apa kriteria Islami tidaknya suatu sistem pemerintahan menurut syariah serta halal-haramnya umat Islam duduk di situ?. Termasuk ditunggu adalah apa kriteria Islam tidaknya sebuah parpol serta halal-haramnya umat Islam aktif di situ. Kita berharap para Ulama terus bekerja memproduksi fatwa yang akan menjadi penyuluh umat dalam berhukum kepada Allah dan rasul-Nya. Kita berharap para ulama lebih merindukan istighfar yang diucapkan oleh ikan-ikan di lautan daripada iming-iming para pemegang kekuasaan. Kita berharap para ulama tetap istiqomah dan hanya takut kepada Allah serta tidak takut kepada celaan orang-orang yang mencela. Wallahu a'lam. (Sumber Tabloid SUARA ISLAM Edisi 60).
Oleh karena itu, bilamana fatwa itu difokuskan untuk memilih pemimpin (Pilpres/Pilkada) sebaiknya MUI menggunakan kriteria pemimpin yang wajib dipilih dan ini bisa diadopsi dari syarat-syarat seorang pemimpin, imam a'zham, khalifah atau amirul mukminin yang ada dalam khazanah fiqh Islam.Sebut saja misalnya syarat pengangkatan seorang pemimpin (syuruuthul imam) menurut Imam Syafi'i Rahimahullah dalam kitab Al Jinayat al Mujibat lil Uqubat
(1) mukallaf,
(2) muslim,
(3) merdeka,
(4) mujtahid,
5) pemberani, (6)mendengar,melihat,dan bicara,dan
(7) keturunan Quraisy.
Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam As Sulthaniyyah mengatakan bahwa syarat pemimpin adalah:
(1) Adil dengan syarat-syaratnya,
(2) Berilmu hingga bisa berijtihad,
(3) Selamat panca Inderanya,
(4) Selamat anggota badan dari segala hal yang menghalangi gerak yang cepat,
(5) sehat pikiran dan pendapat sehingga bisa mengurus rakyat dan mengatur kemaslahatan mereka,
(6) Pemberani sehingga bisa melindungi rakyat dan berjihad melawan musuh,
(7) Nasabnya sebagai keturunan Quraisy.
Sedang Imam Nawawi dalam kitab Ar Raudlah menyebut syarat pemimpin adalah :
(1) muslim;
(2)mukallaf;
(3)adil;
(4)merdeka;
(5)laki-laki;
(6)Quraisy;
(7)mujtahid;
(8)pemberani;
(9)memiliki kemampuan dan pendapat;
(10)mendengar dan melihat;
(11)berbicara dan;
(12)selamat dari berbagai kekurangan yang menghalangi dirinya bisa cepat bergerak.
Dari bahan-bahan tersebut MUI bisa menerapkan kriteria calon pemimpin (Kepala Negara atau Kepala Daerah) yang tugasnya sebagai eksekutif memang harus melakukan pemeliharaan urusan umat (ri'aayatu syu-unil ummah) dengan syariah dengan menggunakan syarat-syarat di atas, baik yang sifatnya harus ada (syurut in'iqad) maupun syarat keutamaan (syurut afdloliyah). Tugas-tugas seorang pemimpin (Imam atau Kepala Negara) menurut syariah juga harusnya diurai dalam fatwa MUI sehingga jelas mereka dipilih dalam kerangka apa. Syarat-syarat Imam di atas tentu berbeda dengan syarat-syarat wakil rakyat (nuqaba), dimana fungsi wakil rakyat bukanlah fungsi penguasa, melainkan mengontrol pemerintah agar tetap memelihara urusan rakyat sesuai dengan petunjuk Allah SWT yang ada dalam Al Qur'an dan As Sunah. Oleh karena itu, kriteria wakil rakyat dengan kriteria pemimpin/penguasa tidak bisa disamakan. Dalam pemilihan legislatif, MUI tentunya diharapkan menerangkan status hukumnya menurut syariat Islam sehingga jelas bagi umat ini dan bisa diamalkan. Sebab tujuan dari sebuah fatwa adalah pemberian informasi hukum (ikhbaarul hukm) dan itu diperlukan oleh umat Islam mengingat umat Islam terikat oleh hukum syara' dalam seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara.
Dalam hal ini MUI tidak perlu sungkan atau ragu berbenturan dengan pandangan Pemerintah atau kelompok poltik manapun, khususnya kaum sekuler yang selalu berusaha mendelegitimasi MUI. Justru yang harus dijaga adalah jangan sampai MUI terdelegitimasi dirinya sendiri lantaran ada fatwa pesanan yang menyimpang dari hukum syara'. Wal'iyaadzu billah! Dalam perspektif syariah aktivitas memilih wakil rakyat di DPR (pemilu legislatif) bisa dikategorikan kepada aqad wakalah. Dalam wakalah ini perlu diperhatikan amal apa yang akan dilakukan oleh wakil rakyat yang mewakili rakyat yang memilihnya? Sebab wakalah yang hukum asalnya mubah atau halal, misalnya seseorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil gajinya;bisa berubah menjadi haram manakala amal yang diwakalahkan adalah haram, seperti seseorang mewakilkan suatu amal pencurian kepada orang lain.
Dalam masalah pemilihan wakil rakyat di kursi parlemen, amal yang diwakalahkan adalah amal membuat undang-undang(taqnin) dan melakukan pengawasan kepada penguasa (muhasabah). Dalam pandangan Islam, membuat undang-undang (taqnin) yang diberlakukan kepada rakyat dalam proses pemerintahan hanya bisa dibenarkan bilamna hukum yang diundangkan itu adalah semata-mata hukum syariat Islam yang bersumber dari Al Qur'an dan As Sunah. Penbuatan UU dangan rujukan selain dari hukum syara'adalah haram hukumnya. Sebab tindakan itu bisa terkategorikan melanggar hak Allah SWT dalam membuat hukum(lihat QS. Al An'am [06]:57 dan QS. An Nahl [16]:116).
Sehingga dalam hal pembuatan perundangan, baik wakil rakyat maupun pemerintah, dibatasi hanya wajib mengadopsi dari hukum syara' maupun hasil-hasil ijtihad yang digali (istinbath) dari dalil-dalil syar'i. Menbuat perundangan dengan merujuk kepada sistem hukum dan perundangan selain Islam (baik dari sistem Kapitalis Barat maupun sistem Sosialis Komunis) bagi kaum muslimin haram hukumnya. Sedangkan amal mengawasi pemerintah (muhasabatul hukkam)dangan standar hukum syara' adalah hak sekaligus merupakan kewajiban rakyat yang bisa dilaksanakan langsung atau melalui wakil rakyat. Dengan demikian halal bagi rakyat muslim memilih wakil rakyat yang akan melaksanakan amal mengadopsi hukum-hukum syara' sebagai UU dan mengawasi kebijakan pemerintah dengan pedoman standar syariah Islam. Sebaliknya, memilih wakil rakyat yang akan mengadopsi hukum-hukum selain Islam sebagai UU dan mengawasi kebijakan pemerintah tidak dengan timbangan syara', apalagi secara nyata menolak penerapan syariah oleh negara dan bertekad melestarikan sistem negara dan pemerintahan sekuler, maka memilih wakil rakyat seperti ini jelas hukumnya haram bagi setiap muslim.
Dengan kejelasan halal-haramnya hukum memilih wakil rakyat dalam pemilu memudahkan umat menilai calon-calon wakil rakyat. Ke depan umat ini masih menunggu fatwa MUI tenang sistem pemerintahan: apa kriteria Islami tidaknya suatu sistem pemerintahan menurut syariah serta halal-haramnya umat Islam duduk di situ?. Termasuk ditunggu adalah apa kriteria Islam tidaknya sebuah parpol serta halal-haramnya umat Islam aktif di situ. Kita berharap para Ulama terus bekerja memproduksi fatwa yang akan menjadi penyuluh umat dalam berhukum kepada Allah dan rasul-Nya. Kita berharap para ulama lebih merindukan istighfar yang diucapkan oleh ikan-ikan di lautan daripada iming-iming para pemegang kekuasaan. Kita berharap para ulama tetap istiqomah dan hanya takut kepada Allah serta tidak takut kepada celaan orang-orang yang mencela. Wallahu a'lam. (Sumber Tabloid SUARA ISLAM Edisi 60).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ASSALAMU ALAIKUM